Dedikasi Muhammad Farid Setiawan Jaga Perlintasan Kereta Api
Honor Tergantung Keiklasan Warga
Sekitar
Tangan hanya satu akibat kecelakaan lalu lintas .Namun
Muhammad farid Setiawan selalu sigap memasang palang pintu perlintasan di Jalan
Nanas. Karena perlintasan liar, maka honor yang diterima laki-laki yang biasa
di panggil Iwan ini pula ala kadarnya.
KHAWAS
AUSKARNI,Jember
JAM dinding memunjukkan
pukul 11.15 WIB. Itu pertnada Kereta Api (KA) Pandan Wangi sudah sampai di
Stasiun Arjasa. Jika sesuai jadwal, empat menit kemudian kereta itu akan
melewati jalur perlintasan di Jalan Nanas, Kelurahan Patrang, Kecamatan
Patrang.
Perlintasan ini tak seperti perlintasan umumnya , yang
selalu dijaga oleh petugas stasiun. Karena diluar pengolaan PT KAI. Padahal,
lalu lalang kendaraan cukup padat.
Tak heran , di lokasi ini sering kali terjadi
kecelakaan kereta api. Bahkan tak sekali dua kali sampai memakan korban jiwa.
Nah, atas dasar itulah Muhammad Farid Setiawan, 54,
setiap hari spontan berjaga. Karena di luar pengolaan PT KAI alias liar,
alhasil, Iwan—begitu dia kerap disapa—mendapatkan upah dari swadaya masyarakat
sekitar yang banyak di bantu olehnya.
“Honor saya Rp 250 ribu per bulan. Alhamdulillah mulai
2017 ini baru naik Rp 500 ribu perbulan,” aku Iwan datar.
Iwan bukan pria noral. Dia penderita difabel ( cacat
fisik, hanya mempunyai satu tangan). Perwakannya juga begitu kurus. Kumisnya
yang lebat menutupi gigi-giginya yang sudah ompong. Rambutnya yang berkuncir,
paling tidak sedikit memberi kegagahan di tengah usianya yang sudah lebih
setengah abad itu.
Iwan cukup cekatan saat ‘berdinas’. Sesekali, matanya
melirik palang perlintasan resmi milik PT KAI yang berada di timur RSD Soebandi
atau beberapa kilo meter di sebelah utara posnya itu. Palang perlintasan
itulah, satu-satunya yang dia andalkan untuk mengetahui ada tidaknya kereta
yang tengah melaju.
Sebagai penjaga perlintasan liar, Iwan sama sekali
tidak dibekali satupun alat komunikasi.
Pekerjaanya ia lakukan secara manual hanya mengandalkan pengindraan
mata. Apalagi tangannya hanya dibagian kiri saja. “Saya ingat jam-jamnya kereta
dating dan pergi. Jika diluar jam itu mengandalkan feeling saja,” jelasnya.
Nah, dengantangannya yang tinggal satu itulah, ia
sigap menaik-turunkan besi portal perlintasan. “Alhamdulillah, dengan satu
tangan mungkin banyak nyawa pengendara menggantungkan
keselamatan,” ujarnya.
Iwan mengaku, sudah dua dekade lebih mengais rezeki
dari pintu perlintasan liar. Dia mulai ‘dinas’
persisnya pada 1993 silam. Dua tahun sebelumnya, kisaran agustus 1990,
Iwan kehilangan tangan kanannya. Ia menjadi satu dari penumpang bus nahas yang
mengalami kecelakaan tunggal di kawasan Klakah Probolinggo.
“Waktu itu saya dalam perjalanan pulang dari rumah ibu
saya di Malang. Saat melintasi jalan di atas tebing wilayah Klakah, tiba-tiba
membanting ke bagian belakangnya membentur pohon besar dengan keras,” kisahnya
mengenang peristiwa yang mengubah hidupnya itu.
Tidak cukup kehilangan satu tangan, tragedy itu juga
disusul dengan hilangnya sarana penghidupannya sebagai tenaga instalasi
listrik. Irwan menganggur selama kurun dua tahun, sebelum kemudian memutuskan
untuk menjadi penjaga perlintasan liar.
Tak mudah menjalani pekerjaaan itu dengan hanya
sebelah tangan saja, dan dengan upah yang hanya cukup untuk bertahan selama
beberapa minggu saja. Ia terpaksa makan sekali dalam sehari agar uang yang
diperoleh dari swadaya warga itu bias
bertahan hingga berganti bulan.
Di sisi lain, Irwan mesti terus terjaga dalam mata
awas selama berada di pos pantau. Sedikit saja lalai, nyawa pengendara yang
akan jadi tumbalnya.
Waktu terberatnya adalah saat memasuki pukul 11.00
hingga 12.00. Di jam itulah biasanya
matanya terasa berat. Rasa kantuk menggodanya untuk mengatupkan matanya selama
beberapa saat, dan melupakan tugasnya nuntuk memantau pergerakan kereta api
yang tengah setiap saat bias lewat.
“Di luar jadwal yang sudah pasti, kadang ada juga
kereta yang melintas di luar jadwal. Kadang kepalanya saja. Untuk itulah saya
harus tetap waspada setiap saat,m” paparnya.
Sembari menjaga pos perlintasan, Iwan juga nyambi berjualan bensin eceran. Usaha
sampingan itu sudah ia jalankan kisaran sepuluh tahun silam untuk menambah pendapatannya.
“Tapi modalnya kerap dipakai, karena honor dari
menjaga perlintasan kadang sudah habis sebelum akhir bulan,” keluhnya.
Lantaran keterbatasannya, Iwan kadang meminta tolong
pada keponakannya untuk membeli dagangan bensin ke SPBU. Kalau tidak begitu, dia menitip kepada rekannya
sesame penjual bensin eceran dengan imbalan satu sampai dua liter bensin
miliknya.
Di luar itu, harapan membangun rumah tangga pun sudah
ia kubur dalam-dalam usai bercerai dengan istrinya. Rumah tangganya berantakan
beberapa saat sebelum kecelakaan yang menghilangkan tangan kanannya itu, tanpa
sempat memiliki keturunan.
Sejak saat itu sampai sekarang, dia numpang hidup di
rumah kakaknya. Di sana tinggal pula keponakan dan kakak iparnya.
Lebih dari itu, Iwan berharap agar pemerintah
memperhatikan nasibnya,juga memperdayakannya. Sebagai manusia dengan fisik
tidak sempurna, tidak banyak alternatif baginya selain pekerjaanya saat ini dan
menjalankan usaha mandiri. “Saya ingin punya usaha sendiri yang bias untuk
bersandar,” akunya.
Dia sendiri heran, kenapa namanya belum tersentuh
program kesejahteraan social pemerintah. Tak ayal, di tengah tetangga kanan
kirinya ramai-ramai mengantre bantuan, dirinya selalu tidak kebagian. (hdi)
Sumber : JP-RJ- Minggu 20 Agustus 2017
Di tulis kembali oleh : (AF)
Komentar
Posting Komentar