Bisnis Persaewaan Komik yang Terus Meredup Tergilas Zaman



Bertahan 22 Tahun, Kini Obral Koleksi

Setiap entitas bisnis di tuntut untuk senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Tak terkecuali dengan bisnis persewaan komik dan novel. Setelah berdiri selama 22 tahun, TOP Komok – sebuah persewaan komik yang cukup populer di ndaerah kampus – dipaksa harus menyerah pada zaman.


ADI FAIZIN, Jember

KABAR gembira bagi pencinta komik dan novel di Jember. TOP Komok di Jalan Jawa kini 
menjual ribuan koleksiny dengan harga murah banget, antara 2 ribu sampai 5 ribu. Tapi sedih juga sih TOP mau tutup.”


Begitu kutipan salah satu warganet bernama Vindy Putri yang mengabarkan tentang akan di tutupnya persewaan komik dan novel TOP yang beralamat di Jalan Jawa. Sontak postingan yang di unggah pada 14 Juli 2017 itu langsung disambut antusias rekan – rekannya di jejaring media sosial. “Waktu itu aku iseng pingin sewa komik, tapi ternyata di tawarkan oleh penjaganya untuk membeli sekalian. Aku sampai kalap beli 94 jilid,” jelas alumnus Universitas Jember ini.

Persewaan novel dan komik TOP memang menjadi nama yang cukup populer di kalangan pecinta komik dan novel, terutama yang berada di sekitaran kampus Unej.

Dengan lokasinya yang cukup strategis, persewaan ini menawarkan koleksi komik dan novel hingga ribuan jumlahnya.

Selang tiga minggu sejak informasi  di obralnya koleksi TOP itu tersebar. Jawa Pos Radar Jember berkunjung ke kios tersebut. Tidak tampak aktivitas berarti. Hanya ada satu orang pengunjung yang melihat – lihat koleksi dan kemudian membelinya seorang perempuan yang bertugas sebagai penjaga kios. Kios TOP komik pun sudah berpindah ke sebuah toko yang ada di sebelah kios lama. Kios yang kini di tempati berukuran lebih kecil, yakni 2,5 x 12 meter. Sedangkan kios sebelumnya berukuran 3,8 x 12 meter.

Sunyoto Tri Wahyono, pemilik TOP ketika dikunjungi ke rumahnya mengakui, rencana penutupan bisnis persewaan komik dan novel merupakan keputusan berat. Namun, itu harus dia lakukan, seiring dengan perkembangan zaman. “saying juga sebenarnya, karena saya bisa beli rumah ini dan memulai usaha mini market, ya dapatnya dari persewaan TOP itu,” tutur Sunyoto ketika di temui dirumahnya yang ada di kawasan Kaliurang, Jember ini.

Hingga terakhir sebelum diputuskan untuk di tutup, TOP memilki koleksi buku mencapai 20 ribu. Sejak diumumkan tutup dan diobral, kini tersisa sekitar separonya saja. Bahkan seorang warga asal Kalisat ada yang memborong sebanyak 2 ribu komik dan novel dengan nilai sekitar Rp 4 juta. Judul-judul yang laris sudah banyak diborong saat awl-awal diobral. Tapi sekarang juga masih ada yang membeli komik obralan saya ini,” tutur pria asal Banyuawangi ini.

Sunyoto mneng, awal mu ia terjun di bisnis perbukuan ini ketika awal tiba di Jember, tahun 1993. Saat itu, setelah lulus dari sebuah SMA swasta di Banyuwangi, ia mengikuti kakak sepupunya untk merantau bekerja di Jember. Sembari bekerja, ia juga berkuliah  di STIE Mandala Jember, meski hanya sampai semester 8 dan tidak selesai. Semula ia bekerja sebagai loper Koran, karena kakaknya memilki usaha usaha kios Koran didaerah kampus.

“kakak saya seangkatan dan bertman juga dengan pak Kholid. Dulu sama-sama memulai usaha dari loper dan agen Koran,” cerita sunyoto. Kholid yang ia maksud adalah Kholid Ashari, pemilik senyum media yang dulunya juga memilki jasa persewaan komik dan agen koran. Seiring perkembangan zaman , Senyum Media lebih dulu bertranformasi menjadi jaringan took perlengkapan alat tulis kantor (ATK) dan berkembang menjadi salah satu grup ATK terbesar di Jember.

Setelah dua tahun menjadi loper koran, atas saran sang kakak, Sunyoto mulai membuka persewaan komik dan novel. Tahun 1995, saat awal membuka kios, lokasinya juga di Jalan Jawa, namun di tempat yang berbeda, yakni dekat bundaran DPRD Jember. “Sejak awal buka tahun 1995 sampai sekarang, sudah pindah dua kali. Lokasi yang sekarang ini yang ke tiga, Cuma sementara saja. Mungkin dua bulan sampai nselesai di obral,” jelas Sunyoto.

Pertimbangan Sunyoto membuka persewaan komik adalah karena berada di daerah kampus yang dianggap banyak peminat literasinya. Berdirinya TOP hamper bersamaan dengan berdirinya komik lain di Jember seperti Senyum Media. Saat awal membuka, Sunyoto mengaku usahanya masih sepi hingga ia berfikir untuk segera tutup. Namun saat itu ia dibantu dan di motivasi oleh sang kekasih yang lalu ia nikahi beberapa bulan kemudian. “Istri saya memang telaten dan sabar untuk usaha komiknya. Itu yang jadi kunci. Hingga akhirnya menjadi besar setelah berjalan selama satu tahun,” tutur suami dari Wiwik Kristioningsih ini.

Usahanya mencapai puncak kejayaan sekitar tahun 2000 hingga 2010. Saat itu koleksi komik dan novelnya bisa mencapai 40 ribu buah. Akhir pekan biasanya menjadi punak pemasukan usaha Sunyoto. Dari usaha komik itu pula, ia bisa membeli mobil dan rumah pada 2009 setelah sebelumnya berpindah – pindah mengontrak rumah. Dan dari usaha komik pila, ia mulai merambah bisnis lain, yakni minimarket yang juga ia namakan TOP. Ia mulai merintis usaha minimarket tahun 2010, di rumahnya yang berada di kawasan Kaliurang.

Dari semula menyewa kios dekat DPRD, Sunyoto akhirnya bisa membeli kios sendiri, masih di Jalan Jawa, yakni di kios sebelum jembatan. Ia membeli kios terebut tahun 2004, atau 9 tahun setelah melakoni usaha persewaan. Kala itu ia nmembeli kios berukuran 3,8 x 12 meter dengan harga 85 juta.
Selama 22 tahun menekuni usaha persewaan komik dan novel, banyak suka duka dialaminya . pencurian komik atau novel dari beberapa pengunjung, sudh menjadi hal yang biasa ia alami. “Saya biasanya kalau melihat pengunjung mencuri tidak langsung saya tangkap, karena takut tidak yakin. Setelah dua kali, baru saya tangkap. Karena saya takut tuduh orang,” tutur pria kelahiran Banyuwangi, 3 November 1971 ini.

Namun, ia pernah mempergoki pelaku pencurian yang cukup unik. Yakni seorang mahasiwi yang sudah akrab dengan dirinya karena sering berkunjung ke kiosnya. Tidak hanya berbincang, si mahasiswi itu juga kerap membantu Sunyoto untuk menata komik. Namun setelah beberapa kali melihat mahasiswi itu mencuri, barulah yang terakhir ia menangkap basah perbuatan tersebut. “Saat saya tangkap, saya bawa dia ke kosannya untuk mengambil komik – komik lain sebelumnya dia curi,” ujar pria yang terlahir dari pasangan keluarga petani di Banyuwangi ini.

Pada era kejayaan komik dan novel, marak juga beredar novel stensilan dengan cerita cabul. Beberapa penulis yang popular kala itu seperti Enny Arrow dan freddy (keduanya orang Indonesia) dan Nick Carter (novel terjemahan dari Indonesia). Novel cabul tersebut, hanya bisa diperoleh dari jalur gelap atau illegal karena tidak memungkinkan untuk di jualuntuk di jual di took resmi. Meski menggiurkan, namunSunyoto mengaku sama sekali untuk membeli dan menyewakan novel tersebut. “Memang itu pasti laris, terutama kalangan mahasiswa dan anak muda. Tapi saya tidak pernah berminat karena takut dosa,” tegas Sunyoto.

Usaha persewaan komik dan novel Sunyoto mulai memasuki titik surut sejak tiga tahun terakhir. Semenjak itu, pendapatanya dalam sehari maksimal hanya Rp 100 ribu. “ Itu buat biaya operasional saja tidak cukup,” tutur Sunyoto. Sejak tiga tahun terakhir itu pula, Sunyoto tidak pernah lagi menambah atau memperbarui kolekinya.

Perkembangan internet memang dirasakan sangat menggerus usaha persewan komik seperti milik Sunyoto. Jika di masa jayanya, di Jember terdapat setidaknya enam usaha persewaan komik dan novel, kini hanya tersisa dua, salah satunya adalah TOP. Selain gratis dan mudah di dapat, komik bajakan yang banyak disebar di internet juga perkembangannya lebih cepat. “Komik dan novel itu kan biasanya berseri. Nah kalau di internet itu lebih cepat updatenya  daripada di took ataupun rental. Itu penyebab utama kami kalah,” jelas anak ketiga dari enam bersaudara ini.

Karena itu, sejak dua tahun terakhir, Sunyoto mulai menawarkan kiosnya untuk dijual.beberapa bulan lalu, ia baru cocok dari seorang pembeli kios. Kios TOP yang dijual itu akan dijadikan usaha penjualan pulsa telepon seluler. Beruntung, karyawannya akan direkrut di kios yang baru tersebut.
Kini, setelah melepas usaha komik yang amat ia sayangi, Sunyoto akan fokus pada usaha minimarket yang menempel dengan rumahnya di kawasan Kaliurang. Selain itu dalam waktu dekat, ia juga akan memulai usaha penjualan aksesoris digarasi rumahnya. “Kalau aksesoris kan modalnya tidak terlalu besar. Jadi bisalah saya  mulai sekarang,” pungkas Sunyoto.

Seiring tutupnya TOP, maka kini hanya tersisa satu rental komik dan novel di Jember. Satu-satunya rental di Jember yakni Oce komik yang ada di Jalan Kartini, kawasan Kepatihan. Suasana sepi saat Jawa Pos Radar Jember berkunjung ke kios kecil, yang berada dipinggir jalan menuju Polres Jember tersebut. Kio situ menyatu dengan umah milik orang tua dari Tosan Pangudi, pemilik kios Oce. “Nama panggilan saya ketika kecil sebenarnya Ulce, dari bahasa Belanda karena ayah saya berdarah belanda. Artinya anak tersayang . Cuma karena karyawannya lidah Jawa, jadi dipanggil Oce yang itu kemudian saya jadikan nama kios saya, “ tutur Oce.

 Sembari ditemani alunan music jazz dari penyanyi lawas Tony Bennett kesukaannya, Oce berpisah tentang alasannya tetap bertahan. Seperti halnya TOP, Oce juga memulai bisnis persewaan komik dan novelnya itu pada tahun 1955. “Orang bisnis itu karena dua alasan, uang atau dia menyukai jenis usaha itu. Selebih karena alasan yang nomor dua , “ tutur pria berusia 50 tahun yang tetap betah melajang.(cl/ras)

Sumber : JP – RJ – Selasa 8 Agustus 2017

Komentar

Postingan Populer