Prahesti Anuari, lulusan Terbaik Universitas Muhammadiyah Jember
Biasakan
Diri Selalu Belajar Usai Salat Subuh
Beberapa kali nama Prahesti Anuari dipanggil dari
dalam Gedung Ahmad Zainuri, Universitas Muhammadiyah kemarin. Nama itu diminta
maju menerima anugerah lulusan terbaik se Universitas, dalam wisuda yang
rencana akan berlangsung hari ini. Sabtu (26/8). Siapa dia?
KHAWAS AUSKARNI, Jember
HESTI, sapaan
akrab Prahesti Anuari, sama sekali tak menyangka dirinya bakal menjadi bintang
di pungkasan perkuliahannya itu. Lulus dengan IPK 3,9 dalam tempo tiga tahun,
10 Bulan, 2 hari, gadis 22 tahun itu di tahbiskan sebagai mahasisiwi yang lulus dengan nilai paling tinggi. Dia
juga berpredikat terbaik se-Universitas Muhammadiyah Jember dalam periode ini.
Kendati demikian, perantau asal Kecamatan Bungatan,
Situbondo itu mengaku bukanlah tipikal yang keras dalam belajar. Betapa
prosesnya selama menjadi mahasisiwi Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian
berjalan mengalir saja.
Hanya saja, dia mengaku cukup proaktif kepada dosen.
Hesti tak sungkan-sungkan menunggu dan menemui dosen di ruangannya jika merasa
ada materi perkuliahan yang dia susah memahami.
Hal lain yang amat kursial, kata dia, pola belajarnya
yang kerap memanfaatkan waktu usai salat Subuh. Hesti mengaku punya kebiasaan
belajar setelah salat Subuh sejak duduk di bangku kelas 1 SMA Negeri 1
Situbondo. Kala itu, dia sudah hidup ter[isah dengan orangtuanya. “SMA saya ada
di kota Situbondo, jadi saya ngekost,”
kisahnya.
Melalui percakapan handphone,
bapak atau ibunya hampir selalu mengingatkannya untuk tidak tidur usai
Subuh. Alih-alih tidur, Hesti disarankan untuk belajar barang sebentar.
Seiring dengan jalannya ritual itu, prestasi
akademiknya ikut terdongkrak. Ia merasakan betul dmpak pola dari spiritual
dengan itu kerap menjadi lima besar di kelasnya, terhitung sejak kelas 1 SMA.
Kebiasaan itu terus berjalan hingga Hesti merantau ke
Jember untuk menempuh studi Universitas Mehammadiyah Jember. Kendati orang
tuanya sudah jarang lagi mengingatkannya untuk tidak tidur usai Subuh, lantaran
sudah berpola sejak lama, kegiatan belajar usai Subuh seolah berlangsung secara
otomatif.
Tidak lama, sekitar setengah jam setiap pagi Hesti tak
pernah sekalipun melawatkan waktunya untuk membaca, me-review, materi perkuliahannya. Bagaimanapun juga, bagi Hesti, usai
Subuh merupakan waktu dimana tubh dalam
kondisi segar bugar, suasananya pun cukup tenang dan menciptakan kondisi focus
untuk belajar. Ia merasakan, apapun yang dipelajarinya pada jam jam itu menjadi
mudah terserap dan gampang diingat.
Efektivitas terapi yang mungkin kurang popular bagi
mahasiswa kekinian itu ia buktikan dengan capaiannya sepanjang hampir 4 tahun
menjalani perkuliahan di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Jember.
Hampir seluruh nilai dalam transkipnya diwarnai nilai A. hanya beberapa yang B,
dan nilai c “percayalah waktu usai salat Subuh sangat disayangkan jika
dilewatkan dengan hanya tidur menunggu siang,” ujarnya.
Untuk itu, ia amat menyayangkan saat melihat banyak
rekannya yang memilih tidur ketimbang belajar atau menjalankan kegiatan
produktif lainnya, usai salat Subuh. Padahal, menurutnya, terjaga usai salat
Subuh juga bisa menjadi obat terapi penyakit Pikun.
“Saya pernah baca disalah satu literature, bahwa
membiaakan untuk tidur lagi usai salat Subuh bisa mengingkis penyakit mudah
lupa atau pikun,” akunnya.
Kendati demikian, lulus kuliah dengan predikat yang
pastiny membuat tersenyum kedua orangtuanya itu masih menjadi separroh dari
raihan cita-citanya. Sebagai generasi muda yang lahir di Kabupaten yang
berbatasan langsung dengan selat Jawa, dengan potensi kekayaan ikan kerapunya,
Hesti memiliki misi khusus. Dia bakal pulang ke tanah kelahirannya dengan
semangat pemberdayaan.
Menurutnya, Situbondo menjadi salah satu daerh yang
menyimpan kekayaan kerapu. Hanya saja, transformasi keahlian yang diterima para
pembudidaya kerapu disana masih sangat minim. Permintaan ekspor sebesar 35 ribu
ton dari hongkong yang bisa dipasok seluruhnya oleh pembudidaya kerapu
Situbondo. “Dikota saya ada sekitar 50-an pembudidaya krapu,” tuturnya.
Sepanjang bobservasinya dalam menghimpun dat skripsi
terkait budi daya ikan kerapu di Situbondo, banyak para pellakun budidaya yang
belum tau cara menanggulngi bergam jenis penyakit yang rentang menyakiti ikan
kualitas ekspor impor. Dinas perikana setempat pun tampaknya belum mulai
melakukan penyuluhan terkait keluhan macam itu.
Tak hayal,
hasil produksi pra berkontraksi tiap kali panen. Potensi ledakan produksi yang
seharusnya bisa mencukupi target pasar menjadi defisit akibat sebagian budidaya
kerapu mati. “Jika menggunakan pendekatan budidaya, kerapu bisa dipanen tiap
tujuh bulan sekali. Sebenarnya ini merupakan kemajuan ketimbang metode tangkap
ikan yang hanya bisa bisa produksi setahun sekali,” paparnya dengan semangat
layaknya sarjana baru pada umumnya.(kr/was/aro/cl/hdi)
Sumber : Jp-RJ-Sabtu 26 Agustus 2017
Di susun ulang oleh : (AF)
Komentar
Posting Komentar