Pertama Kali, Festifal Ta’ Bhuta An di Arjasa Berlangsung Meriah





Ingin Angkat Tradisi Ta’ Bhuta An Setara JFC


Dibumi nusantara, tradisi yang terkait dengan mahluk halus bisa di temui di berbagai tempat. Jika Bali punya Leak, Jakarta punya Ondel-Ondel, Ponorogo punya Reog, maka Jember punya tradisi Ta’ Bhuta An. Meski berakar sejarah panjang, sayangnya kesenian Ta’ Bhuta An masih belum begitu popular.


ADI FAIZIN, Arjasa

MALAM itu, Jumat 25 Agustus 2017, hawa dingin tak mampu mengalahakan hangatnya antusiasme masyaraka di Lapangan Arjasa. Masyarakat dari berbagai lapisan usia campur baur untuk menikmati hiburan yang tersaji. Mereka terlihat antusias menikmati taria Ta’ Bhuta An, sebuah pementasan asli Jember yang awalnya terkait dengan unsure mistis ini.

“Alhamdulillah, bisa berjalan sukses. Ini adalah acara pertama kalinya yang mementaskan semua sanggar Ta’ Bhuta An di Jemeber secara bersamaan. Dan kami mengadakannya secara swadaya warga,” tutur Akhmad Ismanto, ketua panitia penyelenggara Festival Ta’Bhuta An.

Wajar jika Ismanto merasa lega. Sebab ini adalah pertama kalinya, sebelas sanggar Ta’ Bhuta An tampil bersama dalam sebuah festival yang murni berasal dari inisiasi warga. Penyelenggaraan festival tersebut juga digelar dalam rangkaian peringatan kemerdekaan.

Ta’ Bhuta An yang berasal dari tradisi masyarakat Madura, jika di artikan dalam bahasa Indonesia kira-kira berarti setan-setanan atau menyerupai setan. Pelaksanaannya, beberapa orang menggunakan kostum topeng mirip setan dalam wujud yang lebih besar, dan menari dengan iringan music tradisional. “Tetapi sekarang musiknya sudah bebas, bisa di kreasikan dengan music modern,” kata Ismanto.

Meski bukan pelaku seni Ta’ Bhuta An, sebagai warga asli Arjasa, Ismanto merasa terpanggil untuk melestarikan kesenian tersebut. Karena itu, bersama beberapa rekannya, dia berinisiatif untuk mengumpulkan seluruh sanggar Ta’ Bhuta An yang ada di Arjasa dan sekitar.

Maka terkumpullah sebelas sanggar tersebut. Mereka sepakat untuk membentuk Sanggar Duploang Nusantara, yang bertujuan untuk semakin menggiatkan kesenian Ta’ Buta An. “Agar kesenian ini tidak Cuma pentas di Arjasa saja, tapi juga bisa tampil di Jember bahkan di kenal tingkat Nasional,” harap Ismanto.

Nama Duplang sengaja di pakai untuk menanamkan komunitas baru tersebut dengan merujuk pada situs prasejarah yang ada di dusun Duplang, Desa Kamal, Kecamatan Arjasa. Pasalnya, Ismanto dan rekan-rekannya sesame pegiat dan pelaku kesenian Ta’ Bhuta An meyakini, bahwa kesenian tersebut memiliki akar sejarah budaya yang terkait dengan situs dan era Megalitikum tersebut. Namun, keyakinan itu didasarkan dari tradisi oral-lesan atau kepercayaan turun temurun. “Situs Duplang itu adalah bentuk fisik dari kebudayaannya. Sedangkan Ta’ Bhuta An adalah bentuk produk budaya non-fisiknya,” tutur alumnus Pendidikan Sejarah IKIP PGRI Jember ini.


Berbekal kesukesesan penyelenggaraan yang pertama, Ismanto optimis ke depan komunitasnya bisa menyelenggarakan festival serupa dengan lebih besar dan meriah lagi. Ia berharap bisa mengundang penampilan dari sanggar Ta’ Bhuta An dengan area lebih luas. Karena itu ia berharap, kedepan pemerintah bisa benar0benar memperhatikan produk budaya asli Jember seperti Ta’ Bhuta An ini.

“Acara itu kita lakukan dengan persiapan hanya sebulan dan dana saweran (swadaya) dari warga, tanpa dukungan pemerintah. Karena itu ke depan, kalau seandainya didukung oleh Pemkab, saya yakin bisa lebih besar sampai taraf nasional, seperti JFC (Jember Fhasion Carnaval) itu. Bertahaplah,” tuutur Ismanto.

Tak sekedar perhatian pada kesenian Ta’ Bhuta An. Ismanto juga berharap agar pemerintah bisa melibatkan warga sekitar situs Duplang, dalam pengembangan destinasi wisata. Pasalnya, ia mengaku prihatin dengan adanya lesehan yang di bangun berdekatan dengan situs Duplang. “Pembangunan area tempat lesehan yang berdekatan denga situs, akan mengurangi kesakralan dari situs. Karena dulunya itu merupakan tempat pemujaan,” keluh Ismanto.

Ia berharap, tempat lesehan di sekitar situs bisa di pindahkan di area bawah. “Saya paham itu kenyamanan turis. Tetapi akan lebih baik jika lesehannya dibangun di bagian bawah sebelum menuju situs,” lanjut Ismanto.

Persiapan penyalenggaraan Festival Ta’ Bhuta An memang tergolong singkat, yakni hanya satu bulan. Dananya pun bersumber daari sumbangan warga. Selain itu, pada penyelenggaraan festival selama dua malam, yakni 25 sampai 26 Agustus 2017, penonton di tarik sumbangan secara sukarela. Dari penarikan sumbangan sukarela rela selama penyelenggaraan itu,terkumpul dana sekitar Rp 2 juta. “Sejak sebulan kita gali sumbangan masyarakat terkumpul sekitar Rp 15 juta. Itu belum termasuk sumbangan peminjaman seperti mobil transportasi dan sebagainya. Karena suasananya masih kemerdekaan, jadi masyarakat masih semangat untuk menyumbang,” jelas pria yang juga anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) Desa Arjasa ini.

Festival digelar pada malam hari. Pada malam pertama, yakni Jum’at 25 Agustus, seluruh sanggar yang berjumlah sebelas itu, mempertunjukan kreasi Ta’ Bhuta An mereka. Kemudian pada malam berikutnya, warga di hibur dengan sajian tambahan yang masih terkait dengan Ta’ Bhuta An, seperti Can macanan Kadduk, Manok-manokan dan sebagainya.

Seperti halnya festival pada umumnya, ada penilaian tersendiri dari setip penampil. “Penilaian ini sifatnya hanya untuk memotivasi ke sebelas sanggar yang berpartisipasi lebih semangat. Sekaligus evaluasi dari pihak luar,” jelas Ismanto.

Setidaknya terdapat tiga kriteria penilaian yang di terapkan. Pertama, terkait kreativitas desai property pada bentuk topeng setat yang di gunakan penampil kedua, terkait kreativitas giatan danyang terahir adalah keserasan gerakan denganalinan lagu. “kreativitas tetap harusberdasarkan pakem yang ada. Antara lain bentuk patung serta harus menyemarkan dan besar ,”jelas Ismanto. Namun, pemenang hingga saat ini masih belum di umumkan kerena menunggu musawarah dari tim penilai.
Selain itu masih ada pakem lain yang harus diatasi, yakni setan lagi-lagi dan setan prempuan adpun setan perempuan harus dibuat terlihat cantik tetap menyeramkan.’’ Misalkan giginya punya taring yang tajam dan besar,’’ kata Ismanto.

Kesenian Ta’ Bhuta An tak sekedar hiburan. Menurut Ismanto, terdapat filosofi yang mendalam dari pementasan Ta’ Bhuta An, yakni ajakan agar manusia mampu mengendalikan nafsu amarah yang digambarkan dalam perwujudan setan. Karena itu, setan Ta’ Bhuta An harus ditampilkan dengan tangan yang terikat,” terang Ismanto.

Filosofi lain yang terkandung dalam pementasan Ta’ Bhuta An terletak pada sesajen atau sajen (dalam bahasa Madura) yang merupakan salah satu pakem. Dipersyaratkan dalam pakem Ta’ Bhuta An, unsur sesajen yang ada adlah hasil bumi yang ada di dalam tanah seperti ubi kayu, talas, dan singkong. “Itu punya makna filosofis bahwa kekuatan utama manusia adalah unsur-unsur yang tidak terlihat seperti kesabaran dan sikap welas asih,” ujar pria yang sehari-hari menjadi pengajar di SDN Sumberwringin 1 Sukowono ini.

Ismanto mengakui, Ta’ Bhuta An sangat kental dengan unsur terutama masa lalu. “Kalau dulu waktu saya masih anak-anak, kita lihat Ta’ Bhuta An itu takut, tapi penasaran ingin melihat. Berbeda dengan sekarang, anak-anak sudah tidak takut. Tapi tidak apa-apa budaya tetap eksis,” tutur pria kelahiran 19 November 1966 ini.

Unsur magis itu terlihat dalam Fetival Ta’ Bhuta An yang dihelat pada 25-26 Agustus 2017 kemarin. Dari sebelas sanggar yang bermain, terdapat setidaknya dua pemain yang kesurupan. Dalam satu sanggar setidaknya terdapat 10 hingga 14 pemain. ‘Saat kesurupan itu, kita lantas bacakan doa-doa. Festival juga dimulai dengan prosesi kirim doa dan Al-Fatihah,” jelas Ismanto.

Meski mengandung unsur magis, dia menolak jika tradisi Ta’ Bhuta An dikatakan termasuk dalam tradisi syirik yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Menurutnya, tradisi Ta’ Bhuta An merupakan strategi dakwah dari para ulama pada zaman dahulu untuk mengkulturasikan tradisi berbau anisisme-dinamisme dengan ajaran Islam. “Karena itu salah satu pakemnya juga, di bacakan Sholoawat Berzanji pada pementasan,” pungkas Ismanto. Selawat barzanji merupakan syair berbahasa arab yang biasa dibacakan dalam acara peringatan Maulid Nabi dalam tradisi masyarakat Nusantara. (adl/c1/hdi)
Sumber : JP-RJ-Selasa 29 agustus 2017
Di ketik ulang oleh : (AF)

Komentar

Postingan Populer