Mati-matian Jauhkan Anak dari Candu Perangkat Digital
Rela Jual
Ponsel agar Tidak Dipakai Nonton Youtube
Efek negatif candu perangkat digital memang tidak
hanya dirasakan oleh orang dewasa. Di generasi milenial seperti sekarang,
anak-anak pun sangat mahir menggunakan gadget.
Bahkan tak sedikit balita yang mengalami kecanduan gadget hingga mengganggu kondisi psikis dan emosional mereka.
LINTANG ANIS BENA K, Jember
LUNA Septana
Bahrani masih belum genap usia enam tahun. Di usia tersebut, normalnya anak
menghabiskan waktu dengan bermain bersama teman-teman sebayanya dan menciptakan
memori masa kecil yang indah. Tapi bagi Luna, semua masih kalah seru dengan
aktivitas yang dia senangi: menonton video.
Kebiasaan ini bukan tanpa sebab. Sejak kecil, sulung dari
dua bersaudara ini memang kurang suka menonton televise. Dia lebih sering
menggelayut kepada kedua orang tuanya.
Sayangnya, pada saat si kecil Luna masih balita, sang
bunda Anita Puspa Endriana dan suaminya sama-sama sibuk bekerja.
Melihat ayah bundanya yang kerap lebih memperhatikan
ponsel mereka masing-masing ketimbang memperhatikan dirinya, tak jarang Luna
merasa cemburu pada perangkat kecil ini. Bahkan Luna harus merebut ponsel itu
dari ibunya, demi mendapat perhatian Anita. “Dia mulai banyak bertanya, ini
apa, Mama ngapain, dan semacam itu,” tuur Anita.
Tak mau Luna rewel ketika dirinya bekerja, dulu anita
kerap membiarkan putri sulungnya untuk menonton video online. Meski usia Luna yang
saat itu belum genap tiga tahun, bocah cilik ini bisa membuka aplikasi provider video di ponsel orang tuanya. Hamper setiap
jam, dalam setiap aktifitas, Luna banyak menonton video. “Tidak ada konten
negatif, dia suka menonton video coloring.
Kalau film kartun dia malah nggak
suka,” lanjut wanita kelahiran 30 Agustus 1992 tersebut.
Saying, ini menjadi boomerang bagi Anita. Luna menjadi
addicted pada ponsel pintar
orangtuanya. Di berbagai kesempatan, Luna selalu minta disetelkan video. “kalau
mau makan, atau tidur atau mau ngapain
aja harus nonton video dulu,” kenangnya.
Kebiasaan ini harus dibayar mahal. Dampaknya Luna jadi
kesulitan bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya. Di sekolah, Luna menjadi
atensi pada guru sebab tumbuh sebagai anak pendiam dan tidak bisa mengontrol
emosinya. “Sampai say ditanyain gurunya,
Luna kalau di rumah ngapain, kenapa
nggak bisa di bersosialisasi. Kalau di salahin
sedikit saja langsung nagis,” ujar
Anita.
Tak hanya itu, Luna juga sempat tumbuh menjadi anak
yang kurang peduli privasi. Dia bahkan berani mengambil ponsel orangtuanya demi
melihat video. “Kalau ada HP ngangggur langsung
diambil sam dia. Akhirnya suami saya bilang, dari pada terus-terusan begini
lebih baik hp-nya di jual aja,” lanjut perempuan tersebut.
Khawatir terhadap perkembangan psikis anaknya, Anita
bahkan sempat membawa Luna ke psikolog. Sifat individualis Luna membuat
psikolog meminta kedua orangtuanya untuk ‘puasa’ gadget. “Pokoknya siapa saja yang ada disekitarnya nggak boleh pegang HP,” imbuhnya.
Meski tnggal di kawasan perumahan dan banyak anak-anak
seumuran Luna, mereka juga sama-sama kecanduan gadget. Setiap kali berkumpul, masing-masing dan asyik dengan
perangkat digital ditangan mereka.
Mengantisipasi hal tersebut, Anita juga membuat
kesepakatan dengan para tetangga di komplek perumahannya. “Setiap sore kan anak-anak main. Kita bikin
kesepakatan para ibu-ibu yang menjaga anak mereka juga nggak pegang HP selama mereka berkumpul dengan teman-temannya,”
tegasnya.
Di rumah, Anita juga sangat ketat dalam mengizinkan
Luna dan adiknya memegang ponsel. Mereka hanya boleh menonton video hanya
setiap hari Minggu saja. Itu pun hanya beberapa menit,” tandas anita.
Cara ini rupanya cukup efektif. Kini memasuki tahun
kedua Tk, Luna sudah mulai bisa terbuka dengan teman-temannya. Kondisi
emosionalnya pun sudah bisa lebih tenang. “Dulu meledak-ledak, sering nagis dan
emosi. Sekarang bisa lebih sabar,” pungkasnya. (c1/ras)
Sumber : JP-RJ- Senin 28 Agustus 2017
Ditulis ulang oleh : (AF)
Komentar
Posting Komentar